Selasa, 12 Januari 2010

DRAMA BUNGA EDELWEIS

Kelompok : 4
Edel : Sarah Apriliana Mona : Cindy Swastiratu
Ben : Deni Radianto M Olive : Yoana Puspita
Ibu : Katharina Edwina Dokter : Hanifa Mutia
Ayah : Kurnia Fajar Narator : Hanifa Mutia
Early : Ayu Triastuti





Ben tertegun menatap sunset di pegunungan Eropa, meneteskan air mata saat bayangan-bayangan Edel mulai muncul.
Edel : ”Kakak....Jangan!!!”
Ben : ”Kenapa sih? Bunga gini doang....”
Edel : ”Gak inget ya aku nemuinnya gimana? Huuh!”

Edel menceritakan kembali dan terulanglah.......
Ibu : ”Edel, apa yang kamu ambil?”
Ayah : ”Del, turun! Bahaya di atas sana! Kita di Eropa bukan Indonesia. Kamu jangan macam-macam!”

Edel turun dan membawa segenggam tumbuhan. Wajah Edel yang kanak-kanak terlihat amat ceria terutama saat melihat hal baru yang ia temukan itu.
Ben : ”Ini Edelweis kan bu?”
Ibu : ”Iya itu Edelweis, bunga keabadian. Fisiknya tak terlalu bagus, tapi arti yang terkandung teramat mahal harganya.”
Ben : ”Tetap saja gak enak dilihat.”

Setelah Edel menemukan bunga Edelweis itu, Edel merasa yakin bahwa di dunia hanya bunga Edelweis yang akan menjadi tanda keabadian. Sejak kelas 5 SD, Edel sering sakit-sakitan, fisiknya lemah dan ia terlihat lebih diam dan menyendiri.
Mona : ”Edel, kamu kenapa?”
Edel : (Menunduk dan menggeleng)
Ayah : ”Edel, kita berangkat sekarang!”

Ayah Edel yang muncul tiba-tiba mengagetkan Mona, Early, & Edel yang sedang berbincang di dalam kelas. Ayah Edel membawa Edel ke rumah sakit, karena sejak kemarin Edel mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya.
(Perbincangan Mona dan Early sesaat setelah Edel pergi)
Early : ”Edel kenapa sih akhir-akhir ini kaya gitu?”
Mona : ”Gak tau deh. Aneh. Harusnya sahabat itu tempat saling berbagi kan?”
Early : ”Iya. Tapi....sekarang Edel berubah.”


Ibu dan Ben telah tiba lebih dahulu. Mereka berdiri di depan gerbang utama rumah sakit.
Ben : ”Del, kamu masih sakit?”
Edel : ”Enggak kok ka, aku cuma kecapean aja.”
Ibu : ”Jangan anggap remeh sayang.”
Edel : ”Enggak gitu juga kok.”
Ben : ”Hidung kamu del....”

Darah mengalir dari hidungnya dan mata Edel mulai berkunang-kunang.
Ayah : ”Angkat Edel ! Cepat!”
Ibu : ”Edel, bangun Edel....”

Edel terpaksa dirawat di rumah sakit. Hingga malam hari Edel tak sadar. Ayah menyuruh Ibu dan Ben pulang dan ia yang menemani Edel.
Dokter : ”Bisa saya bicara, Pak?”
Ayah : ”Tentu, dok..”
Dokter : ”Mari... Begini, Pak. Kondisi anak bapak terbilang sangat lemah, bahkan kemungkinan terburuk bisa terjadi. Saya hanya dapat meringankan rasa sakitnya dan mungkin bisa bertahan beberapa tahun kedepan.
Ayah : ”Penyakit apa dok?”
Dokter : ”Leukimia”

Kata-kata dokter membuat Ayah meneteskan air mata. Tak ada lagi yang bisa Ayah lakukan selain membuatnya bahagia.
Ayah : ”Ayah akan mengusahakan yang terbaik untukmu, nak.”
(Memandangi Edel yang terbaring tak sadar)

Selama bertahun-tahun Edel menahan rasa sakit di tubuhnya. Ketika SMP, Edel tak bisa menahan keingintahuannya tentang apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
Edel : ”Ibu pasti tahu kan?’
Ibu : ”Tahu apa sayang?”
Edel : ”Apa yang terjadi pada tubuh Edel bu? Edel sudah besar. Ini tubuh Edel. Edel harus tahu!”
Ibu : ”Maafkan Ayah dan Ibu, Edel karena telah merahasiakan ini semua. Kamu benar, sudah seharusnya kamu tahu. Kamu sakit.....Leukimia nak.”
Edel : (menangis) ”Aku akan mati bu?? Aku gak bisa hidup lebih lama lagi?”
Ibu : ”Tidak sayang, jangan berkata seperti itu....” (menangis)

Semenjak Edel tahu keadaan tubuhnya, Edel sering memaksakan tubuhnya. Bermain basket, berenang, dan karate. Hingga tingkat SMA, Edel sering kali keluar masuk rumah sakit. Suatu hari.....
Mona : ”Edel cukuuuup!”
Early : ”Kenapa sih?”
Mona : ”Lihat Edel! Wajahnya sudah pucat. Tapi dia gak mau berhenti main basket....”
Early : ”Edel....Udah dong! Jangan dipaksa!!”

Tak lama Edel jatuh pingsan karena memaksakan dirinya di terik siang dengan bola basket. Edel dibawa ke rumah sakit..
Mona : ”Edel, kamu gak apa-apa?”
Early : ”Iya del. Gimana keadaan kamu?”
Edel : ”Gak apa kok. Thanks ya.”

Tiba-tiba Ayah, Ibu dan Ben datang.
Ben : ”Ade, kenapa lagi?”
Early : ”Tadi Edel gak mau berhenti main basket ka, padahal kita udah ngelarang dia....”
Mona : ”Iya kak...” (mengangguk)

Ayah dan Ibu : (mengelus kepala Edel) ”Gak apa-apa kan sayang?”
Edel : ”I’m OK mom, dad. . Thanks“
Dokter : “Istirahat yang cukup ya. Bu, Pak, mari keruangan saya sebentar. Begini, sebelumnya saya mohon maaf. Kami pihak rumah sakit tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Penyakitnya sudah semakin parah dan waktunya tak banyak lagi.”
Ibu : ”Maksud dokter? Edel akan meninggal?”
Dokter : (menunduk dan menarik nafas)
Ibu : (menangis)
Dokter : ”Berikan dia kebahagiaan selalu.

7 hari Edel di rumah sakit dan akhirnya ia nikmati kembali suasana kamarnya, terutama kerinduannya pada bunga Edelweis. Mona dan Early menanti kedatangan Edel di rumah.
Edel : ”Huaaah....Bungaku.....”
Mona : ”Aduh Edel dari SD sampe SMA masih aja beginian yang dibanggain.”
Early : ”Iya nih. Masa bunga yang dikangenin, bukannya kita.”
Edel : ”Gak kok...Aku juga kangen sama kalian..hehe.”
Mona : ”Udah deh jangan banyak kegiatan dulu. Istirahat aja....”

Edel mulai melakukan kegiatan harian seperti biasanya. Sering kali Edel merasa ingin jatuh pingsan, tapi ia selalu berusaha untuk tidak terlihat sakit. Namun suatu hari....
Olive : ”Edel kan?”
Edel : ”Hai ka. .Udah lama gak ketemu.”
Olive : ”Haha, iya. Ngapain kamu disini? Kaya orang susah aja di jalanan begini. Kak Ben mana?”
Edel : ”Emang jalanan ini punya orang susah? haha. Ah kakak kan pacarnya masa nanya aku?”
Olive : ”Hahaha....Iya yah. Ayo kakak antar kamu pulang.”

Ketika beranjak bangun dari duduk, Edel merasa goyang dan seakan ingin pingsan.
Olive : ”Edel, Edel kamu gak apa-apa? Mulut kamu..” (Mengelap darah yang keluar dari mulut Edel)
Edel : “Please ka. Jangan bilang kak Ben atau yang lain.“
Olive : ”Iya...Tapi jangan kayak gini dong. Ayo masuk ke mobil.”
Olive membawa Edel ke dalam mobil dan membawanya pulang. Seharian Edel tak keluar kamar. Tidak sedikitpun makan ataupun minum. Saat ditanya ia hanya ingin sendiri. Melihat kondisi Edel yang memburuk, Ayah dan Ibu berusaha menuruti apa yang Edel inginkan. Tepat pada tanggal 24 November 2004
Olive : ”Edel sayang, bangun dong! Sarapan bareng yuk. Kak Ben kan ulang tahun hari ini. Edel, ayo dong bangun. Aduuh...”

Karena tak ada jawaban, Olive membantu Ibu menyiapkan makanan untuk pesta ulang tahun Ben, kekasihnya.
(Di ruang makan)
Ibu : ”Happy birthday, Ben.”
Ben : “Thanks Mom. Love you..”
Ibu : “Love you too honey.”
Olive : “Ehm, Happy birthday beib. Wish you all the best.”
Ben : “Makasih ya sayang. Loh Ayah sama Edel kemana?”
Ibu : ”Coba lihat Ayah di luar.’

(Ben menoleh ke arah luar rumah)
Ayah : ”Selamat ulang tahun ya nak. Semoga kamu makin dewasa dan bijaksana.”

Karena terlalu lama menunggu Ben masuk ke kamar Edel. Ia melihat Edel lelap dengan senyum sambil menggenggam bunga Edelweis kesayangannya.
Ben : ”De...Kamu lupa kakak ulang tahun?
Ade. .Bangun dong.De......”
(menggoyang-goyangkan tubuh Edel)

(Tangan Edel terhempas jatuh dari genggaman Edelweis)
Ben : ”Ade. ... Ade!!”

”Kak Ben, maafin Edel ya. Saat Kak Ben ulang tahun, Edel malah harus pergi ninggalin kakak. Edel tahu, kakak sayang sama Edel karena Edel juga sayang sama kakak. Sayaaaang banget. Sayang Edel buat kak Ben gak akan pernah mati walaupun Edel pergi duluan. Sama kayak bunga Edelweis ini yang gak akan mati karena dia abadi. Bunga ini Edel kasih buat kakak sebagai kado juga tanda permohonan maaf Edel.. Jaga baik-baik ya kak..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar